Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXX (MISA YUBILEUM TIM SINODAL DAN BADAN PARTISIPATIF) 26 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : Sir. 35:12-14,16-18; Mzm. 34:2-3,17-18,19,23; 2Tim. 4:6-8,16-18; Luk. 18:9-14.

 

Saudara-saudari,

 

Saat kita merayakan Yubileum Tim Sinodal dan Badan Partisipatif, kita diundang untuk merenungkan dan menemukan kembali misteri Gereja. Gereja bukan sekadar lembaga keagamaan, juga bukan sekadar identik dengan hierarki dan struktur. Konsili Vatikan II mengingatkan kita bahwa Gereja adalah tanda nyata persatuan antara Allah dan umat manusia, di mana Allah bermaksud menyatukan kita semua ke dalam satu keluarga saudara-saudari dan menjadikan kita umat-Nya: umat yang terdiri dari anak-anak terkasih, semuanya bersatu dalam satu pelukan kasih-Nya.

 

Merenungkan misteri persekutuan gerejawi, yang dibangkitkan dan dilestarikan oleh Roh Kudus, kita juga dapat memahami makna tim sinodal dan badan partisipatif. Mereka mengungkapkan apa yang terjadi di dalam Gereja, di mana hubungan bukan tanggapan terhadap nalar kekuasaan melainkan nalar kasih. Yang pertama – diingatkan terus-menerus oleh Paus Fransiskus – adalah nalar "duniawi". Sebaliknya, dalam komunitas kristiani, keutamaan terletak pada kehidupan rohani, yang menyingkapkan kepada kita bahwa kita semua adalah anak-anak Allah, saudara-saudari, yang dipanggil untuk saling melayani.

 

Aturan tertinggi dalam Gereja adalah kasih. Tak seorang pun dipanggil untuk menguasai; semua dipanggil untuk melayani. Tak seorang pun boleh memaksakan gagasannya sendiri; kita semua harus saling mendengarkan. Tak seorang pun dikecualikan; kita semua dipanggil untuk berpartisipasi. Tak seorang pun memiliki seluruh kebenaran; kita semua harus dengan rendah hati mencarinya dan mencarinya bersama.

 

Kata "bersama" sendiri mengungkapkan panggilan kepada persekutuan dalam Gereja. Paus Fransiskus mengingatkan kita akan hal ini dalam Pesan Prapaskahnya yang terakhir: “… melakukan perjalanan bersama. Gereja dipanggil untuk berjalan bersama, untuk menjadi sinodal. Umat Kristiani dipanggil untuk berjalan bersama orang lain, dan tidak pernah sebagai pengembara yang sendirian. Roh Kudus mendorong kita untuk tidak terpaku pada diri sendiri, tetapi meninggalkan diri sendiri dan terus berjalan menuju Allah dan saudara-saudari kita. Berjalan bersama berarti memperkokoh persatuan yang berlandaskan martabat kita bersama sebagai anak-anak Allah” (Pesan Prapaskah, 25 Februari 2025).

 

Berjalan bersama: tampaknya inilah yang diabaikan kedua tokoh dalam perumpamaan yang baru saja kita dengar dalam Bacaan Injil. Baik orang Farisi maupun pemungut cukai pergi ke Bait Allah untuk berdoa. Kita dapat mengatakan bahwa mereka "pergi bersama-sama" atau, setidaknya, mereka menemukan diri mereka bersama di tempat suci. Namun mereka terpisah; dan tidak ada komunikasi di antara mereka. Keduanya menempuh jalan yang sama, tetapi mereka tidak berjalan bersama. Keduanya berada di Bait Allah; tetapi yang satu mendahului, dan yang lain tertinggal. Keduanya berdoa kepada Bapa, tetapi tanpa menjadi saudara dan tanpa memiliki kesamaan apa pun.

 

Perpecahan ini terutama bergantung pada sikap orang Farisi. Doanya, meskipun tampaknya ditujukan kepada Allah, hanyalah sebuah cermin tempat ia memandang, membenarkan, dan memuji dirinya sendiri. Sebagaimana ditulis Santo Agustinus, ia "pergi untuk berdoa: ia tidak bermaksud berdoa kepada Allah, melainkan memuji dirinya sendiri" (Diskursus 115, 2). Merasa paling unggul, ia menghakimi orang lain dengan hina dan memandangnya rendah. Orang Farisi terobsesi dengan egonya sendiri dan, dengan cara ini, akhirnya berfokus pada dirinya sendiri tanpa memiliki hubungan dengan Allah maupun orang lain.

 

Saudara-saudari, hal ini juga dapat terjadi dalam komunitas kristiani. Terjadi ketika ego mengalahkan kebersamaan, menyebabkan individualisme yang menghalangi hubungan yang autentik dan persaudaraan. Juga terjadi ketika klaim diri lebih baik daripada orang lain, seperti yang dilakukan orang Farisi terhadap pemungut cukai, menciptakan perpecahan dan mengubah komunitas menjadi tempat yang bersifat menghakimi dan eksklusif; dan ketika seseorang memanfaatkan perannya untuk menggunakan kekuasaan, alih-alih untuk melayani.

 

Namun, kita hendaknya memusatkan perhatian kita pada pemungut cukai. Dengan kerendahan hati sama seperti yang ia tunjukkan, kita juga harus menyadari di dalam Gereja bahwa kita semua membutuhkan Allah dan satu sama lain, yang menuntun kita untuk mempraktikkan kasih timbal balik, saling mendengarkan, dan menikmati kebersamaan. Pemahaman Kristus adalah milik orang-orang yang rendah hati, bukan milik orang-orang yang meninggikan diri di atas orang-orang adalah landasannya (bdk. Santo Klemens dari Roma, Surat kepada Jemaat di Korintus, bab XVI).

 

Tim sinodal dan badan partisipatif merupakan gambaran Gereja yang hidup dalam persekutuan. Percayalah ketika saya memberitahumu bahwa dengan mendengarkan Roh Kudus dalam dialog, persaudaraan, dan keberanian berbicara terus terang, kamu akan membantu kita memahami bahwa, mengatasi perbedaan, kita dipanggil di dalam Gereja untuk berjalan bersama dalam mengejar Allah. Dengan mengenakan kepekaan perasaan Kristus, kita memperluas ruang gerejawi sehingga menjadi kolegial dan ramah.

 

Hal ini akan memampukan kita untuk hidup dengan keyakinan dan semangat baru di tengah ketegangan yang melanda kehidupan Gereja: antara kesatuan dan keberagaman, tradisi dan kebaruan, otoritas dan partisipasi. Kita harus memperkenankan Roh Kudus mengubahrupanya, agar tidak menjadi pertentangan ideologis dan polarisasi yang merugikan. Ini bukan soal menyelesaikannya dengan mereduksi yang satu ke yang lain, tetapi membiarkannya dimurnikan oleh Roh Kudus, sehingga dapat diselaraskan dan diarahkan menuju kearifan bersama. Sebagai tim sinodal dan anggota badan partisipatif, kamu tahu bahwa kearifan gerejawi menuntut "kebebasan batin, kerendahan hati, doa, rasa saling percaya, keterbukaan terhadap hal-hal baru, dan penyerahan diri kepada kehendak Allah. Kearifan ini tidak pernah sekadar mengemukakan sudut pandang pribadi atau kelompok atau merangkum berbagai pendapat individu" (Dokumen Akhir, 26 Oktober 2024, 82). Menjadi Gereja sinodal berarti mengakui bahwa kebenaran tidak dimiliki, melainkan diusahakan bersama, memperkenankan diri kita dibimbing oleh hati yang gelisah dalam kasih kepada Sang Kasih.

 

Sahabat-sahabat terkasih, kita harus memimpikan dan membangun Gereja yang semakin rendah hati; Gereja yang tidak berdiri tegak seperti orang Farisi, yang berjaya dan sombong, melainkan membungkuk untuk membasuh kaki umat manusia; Gereja yang tidak menghakimi seperti orang Farisi terhadap pemungut cukai, melainkan menjadi tempat yang ramah bagi semua orang; Gereja yang tidak menutup diri, melainkan tetap memperhatikan Allah sehingga dapat mendengarkan setiap orang. Marilah kita berkomitmen untuk membangun Gereja yang sepenuhnya sinodal, bersifat pelayanan, dan tertarik kepada Kristus, sehingga berkomitmen untuk melayani dunia.

 

Atas kita semua, dan Gereja yang tersebar di seluruh dunia, saya memohonkan perantaraan Perawan Maria dengan kata-kata Hamba Allah Don Tonino Bello: “Santa Maria, perempuan yang ramah tamah, pupuklah dalam Gereja-gereja kami kerinduan akan persekutuan ... Bantulah mereka mengatasi perpecahan internal. Turun tanganlah ketika iblis perselisihan merayap masuk ke tengah-tengah mereka. Padamkanlah api faksionalisme. Damaikanlah pertikaian bersama. Redakan persaingan mereka. Hentikan mereka ketika mereka memutuskan untuk menempuh jalan mereka sendiri, mengabaikan konvergensi pada proyek-proyek bersama” (Maria, Donna dei Nostri Giorni, 99).

 

Semoga Tuhan menganugerahkan kita rahmat ini: berakar dalam kasih Allah sehingga kita dapat hidup dalam persekutuan satu sama lain dan menjadi, sebagai Gereja, saksi persatuan dan kasih.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Oktober 2025)

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.