Bacaan
Ekaristi : Sir. 35:12-14,16-18; Mzm. 34:2-3,17-18,19,23; 2Tim. 4:6-8,16-18;
Luk. 18:9-14.
Saudara-saudari,
Saat
kita merayakan Yubileum Tim Sinodal dan Badan Partisipatif, kita diundang untuk
merenungkan dan menemukan kembali misteri Gereja. Gereja bukan sekadar lembaga
keagamaan, juga bukan sekadar identik dengan hierarki dan struktur. Konsili
Vatikan II mengingatkan kita bahwa Gereja adalah tanda nyata persatuan antara
Allah dan umat manusia, di mana Allah bermaksud menyatukan kita semua ke dalam
satu keluarga saudara-saudari dan menjadikan kita umat-Nya: umat yang terdiri
dari anak-anak terkasih, semuanya bersatu dalam satu pelukan kasih-Nya.
Merenungkan
misteri persekutuan gerejawi, yang dibangkitkan dan dilestarikan oleh Roh
Kudus, kita juga dapat memahami makna tim sinodal dan badan partisipatif.
Mereka mengungkapkan apa yang terjadi di dalam Gereja, di mana hubungan bukan tanggapan
terhadap nalar kekuasaan melainkan nalar kasih. Yang pertama – diingatkan
terus-menerus oleh Paus Fransiskus – adalah nalar "duniawi".
Sebaliknya, dalam komunitas kristiani, keutamaan terletak pada kehidupan
rohani, yang menyingkapkan kepada kita bahwa kita semua adalah anak-anak Allah,
saudara-saudari, yang dipanggil untuk saling melayani.
Aturan
tertinggi dalam Gereja adalah kasih. Tak seorang pun dipanggil untuk menguasai;
semua dipanggil untuk melayani. Tak seorang pun boleh memaksakan gagasannya
sendiri; kita semua harus saling mendengarkan. Tak seorang pun dikecualikan;
kita semua dipanggil untuk berpartisipasi. Tak seorang pun memiliki seluruh
kebenaran; kita semua harus dengan rendah hati mencarinya dan mencarinya
bersama.
Kata
"bersama" sendiri mengungkapkan panggilan kepada persekutuan dalam
Gereja. Paus Fransiskus mengingatkan kita akan hal ini dalam Pesan Prapaskahnya
yang terakhir: “… melakukan perjalanan bersama. Gereja dipanggil untuk berjalan
bersama, untuk menjadi sinodal. Umat Kristiani dipanggil untuk berjalan bersama
orang lain, dan tidak pernah sebagai pengembara yang sendirian. Roh Kudus
mendorong kita untuk tidak terpaku pada diri sendiri, tetapi meninggalkan diri
sendiri dan terus berjalan menuju Allah dan saudara-saudari kita. Berjalan
bersama berarti memperkokoh persatuan yang berlandaskan martabat kita bersama
sebagai anak-anak Allah” (Pesan Prapaskah, 25 Februari 2025).
Berjalan
bersama: tampaknya inilah yang diabaikan kedua tokoh dalam perumpamaan yang
baru saja kita dengar dalam Bacaan Injil. Baik orang Farisi maupun pemungut
cukai pergi ke Bait Allah untuk berdoa. Kita dapat mengatakan bahwa mereka
"pergi bersama-sama" atau, setidaknya, mereka menemukan diri mereka
bersama di tempat suci. Namun mereka terpisah; dan tidak ada komunikasi di
antara mereka. Keduanya menempuh jalan yang sama, tetapi mereka tidak berjalan
bersama. Keduanya berada di Bait Allah; tetapi yang satu mendahului, dan yang
lain tertinggal. Keduanya berdoa kepada Bapa, tetapi tanpa menjadi saudara dan tanpa
memiliki kesamaan apa pun.
Perpecahan
ini terutama bergantung pada sikap orang Farisi. Doanya, meskipun tampaknya
ditujukan kepada Allah, hanyalah sebuah cermin tempat ia memandang,
membenarkan, dan memuji dirinya sendiri. Sebagaimana ditulis Santo Agustinus,
ia "pergi untuk berdoa: ia tidak bermaksud berdoa kepada Allah, melainkan
memuji dirinya sendiri" (Diskursus 115, 2). Merasa paling unggul, ia
menghakimi orang lain dengan hina dan memandangnya rendah. Orang Farisi
terobsesi dengan egonya sendiri dan, dengan cara ini, akhirnya berfokus pada
dirinya sendiri tanpa memiliki hubungan dengan Allah maupun orang lain.
Saudara-saudari,
hal ini juga dapat terjadi dalam komunitas kristiani. Terjadi ketika ego
mengalahkan kebersamaan, menyebabkan individualisme yang menghalangi hubungan
yang autentik dan persaudaraan. Juga terjadi ketika klaim diri lebih baik
daripada orang lain, seperti yang dilakukan orang Farisi terhadap pemungut
cukai, menciptakan perpecahan dan mengubah komunitas menjadi tempat yang bersifat
menghakimi dan eksklusif; dan ketika seseorang memanfaatkan perannya untuk
menggunakan kekuasaan, alih-alih untuk melayani.
Namun,
kita hendaknya memusatkan perhatian kita pada pemungut cukai. Dengan kerendahan
hati sama seperti yang ia tunjukkan, kita juga harus menyadari di dalam Gereja
bahwa kita semua membutuhkan Allah dan satu sama lain, yang menuntun kita untuk
mempraktikkan kasih timbal balik, saling mendengarkan, dan menikmati
kebersamaan. Pemahaman Kristus adalah milik orang-orang yang rendah hati, bukan
milik orang-orang yang meninggikan diri di atas orang-orang adalah landasannya
(bdk. Santo Klemens dari Roma, Surat kepada Jemaat di Korintus, bab XVI).
Tim
sinodal dan badan partisipatif merupakan gambaran Gereja yang hidup dalam
persekutuan. Percayalah ketika saya memberitahumu bahwa dengan mendengarkan Roh
Kudus dalam dialog, persaudaraan, dan keberanian berbicara terus terang, kamu
akan membantu kita memahami bahwa, mengatasi perbedaan, kita dipanggil di dalam
Gereja untuk berjalan bersama dalam mengejar Allah. Dengan mengenakan kepekaan
perasaan Kristus, kita memperluas ruang gerejawi sehingga menjadi kolegial dan
ramah.
Hal
ini akan memampukan kita untuk hidup dengan keyakinan dan semangat baru di
tengah ketegangan yang melanda kehidupan Gereja: antara kesatuan dan
keberagaman, tradisi dan kebaruan, otoritas dan partisipasi. Kita harus
memperkenankan Roh Kudus mengubahrupanya, agar tidak menjadi pertentangan
ideologis dan polarisasi yang merugikan. Ini bukan soal menyelesaikannya dengan
mereduksi yang satu ke yang lain, tetapi membiarkannya dimurnikan oleh Roh
Kudus, sehingga dapat diselaraskan dan diarahkan menuju kearifan bersama.
Sebagai tim sinodal dan anggota badan partisipatif, kamu tahu bahwa kearifan
gerejawi menuntut "kebebasan batin, kerendahan hati, doa, rasa saling
percaya, keterbukaan terhadap hal-hal baru, dan penyerahan diri kepada kehendak
Allah. Kearifan ini tidak pernah sekadar mengemukakan sudut pandang pribadi
atau kelompok atau merangkum berbagai pendapat individu" (Dokumen Akhir,
26 Oktober 2024, 82). Menjadi Gereja sinodal berarti mengakui bahwa kebenaran
tidak dimiliki, melainkan diusahakan bersama, memperkenankan diri kita
dibimbing oleh hati yang gelisah dalam kasih kepada Sang Kasih.
Sahabat-sahabat
terkasih, kita harus memimpikan dan membangun Gereja yang semakin rendah hati;
Gereja yang tidak berdiri tegak seperti orang Farisi, yang berjaya dan sombong,
melainkan membungkuk untuk membasuh kaki umat manusia; Gereja yang tidak
menghakimi seperti orang Farisi terhadap pemungut cukai, melainkan menjadi
tempat yang ramah bagi semua orang; Gereja yang tidak menutup diri, melainkan
tetap memperhatikan Allah sehingga dapat mendengarkan setiap orang. Marilah
kita berkomitmen untuk membangun Gereja yang sepenuhnya sinodal, bersifat
pelayanan, dan tertarik kepada Kristus, sehingga berkomitmen untuk melayani
dunia.
Atas
kita semua, dan Gereja yang tersebar di seluruh dunia, saya memohonkan
perantaraan Perawan Maria dengan kata-kata Hamba Allah Don Tonino Bello: “Santa
Maria, perempuan yang ramah tamah, pupuklah dalam Gereja-gereja kami kerinduan
akan persekutuan ... Bantulah mereka mengatasi perpecahan internal. Turun
tanganlah ketika iblis perselisihan merayap masuk ke tengah-tengah mereka.
Padamkanlah api faksionalisme. Damaikanlah pertikaian bersama. Redakan
persaingan mereka. Hentikan mereka ketika mereka memutuskan untuk menempuh
jalan mereka sendiri, mengabaikan konvergensi pada proyek-proyek bersama”
(Maria, Donna dei Nostri Giorni, 99).
Semoga
Tuhan menganugerahkan kita rahmat ini: berakar dalam kasih Allah sehingga kita
dapat hidup dalam persekutuan satu sama lain dan menjadi, sebagai Gereja, saksi
persatuan dan kasih.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 26 Oktober 2025)


Print this page
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.